Thread Rating:
  • 0 Vote(s) - 0 Average
  • 1
  • 2
  • 3
  • 4
  • 5
Stasiun Tanah Abang
#31

serba susah juga ya menertibkan tempat kayak gini dengan alasan klasik "masalah ekonomi". Ane bermimpi suatu saat nanti kawasan ini diubah menjadi taman/jalur hijau sehingga kalau naik Comline dari THB ke SRP/Sudirman bisa melihat pemandangan yang hijau bukan bangunan semi permanen yang rapat. Tapi kapan ya??
Reply
#32

serba susah juga ya menertibkan tempat kayak gini dengan alasan klasik "masalah ekonomi". Ane bermimpi suatu saat nanti kawasan ini diubah menjadi taman/jalur hijau sehingga kalau naik Comline dari THB ke SRP/Sudirman bisa melihat pemandangan yang hijau bukan bangunan semi permanen yang rapat. Tapi kapan ya??
[/quote]

Kawasan macam Bongkaran, Tanah Abang, kalo ditertibkan mah setengah hati. Gimana ndak setengah hati lha wong disana tempat duit muter. Pajak Pemrov DKI juga kayaknya (kayaknya loh ya) ada yg disumbang dari tempat ini deh

Murtini

Lahir: Purwokerto, 12 Desember 1950
Wafat: Jakarta, 17 Juli 2012

Selamat jalan mama. Kelak kita akan bertemu kembali.

Semboyan 40, 41, mama aman berangkat.
Reply
#33
Sedikit OOT tapi coba telusurin dr rekaman ini di menit 3 detik 4 deh...Mikir Dulu



Reply
#34

ini video hidden cam ya??? kok sy jadi bingung ya Bingung pesan yg mau disampaikan di video ini apa yach???

Cerita kawasan Tanah Abang dari

Jejak Mataram di Pasar "Tanah Merah"

VIVAnews- Pedagang kain dan baju sibuk menawarkan barang dagangan. Menempati Blok A Pasar Tanah Abang, mereka berlomba dengan para pedagang sepatu dan tas. Pengunjung dan kuli panggul pun memadati lorong-lorong bangunan berlantai 19 ini.

Menapaki area luar bangunan bernuansa Islami, pandangan mata didominasi pedagang kaki lima yang saling berhimpit. Hanya beberapa meter dari sini, gedung-gedung pertokoan bagaikan jamur.
Ke arah jalan raya, kendaraan pribadi tampak bersusah payah mencari celah untuk beranjak.

Sedang, klakson dan teriakan preman jalanan beradu dengan suara mesin bajaj dan mikrolet yang ngetem.

Demikianlah suasana sehari-hari pasar yang dibangun anggota dewan Hindia Belanda Justinus Vinck 30 September 1735. Perubahan jaman tentu berkontribusi dalam setiap detail yang terbentuk di Pasar Tanah Abang saat ini.

“Jaman Engkong kecil, ya sekitar tahun 1936, pasar Tanah Abang tidak semegah dan seramai sekarang. Bahkan sekeliling pasar masih banyak yang rawa-rawa. Yang ada kampungnya tuh cuma Kebon Pala dan Kebon Kacang,” kata Ketua Umum Majelis Sepuh Tanah Abang Haji Sukur Harun saat ditemui VIVAnews.

Sebelum dimiliki Justinus Vinck, kawasan Tanah Abang merupakan daerah pertanian dan peternakan milik orang Cina. Sebutlah tuan tanah asal China, Phoa Bhingam, yang menguasai perkebunan tebu di Tanah Abang.

Tapi, ada juga yang membuka perkebunan kacang, kebun jahe, kebun melati, dan kebun sirih. “Makanya (beberapa wilayah di Jakarta Pusat) disebut pakai nama-nama kebon, biar gampang diinget,” canda pria yang akrab disapa Engkong Sukur.

Berdasar buku “Kampung Tua di Jakarta” yang diterbitkan Dinas Museum dan Sejarah DKI, nama Tanah Abang diilhami dari kondisi tanah setempat yang berwarna merah. Diberikan oleh pasukan Mataram yang tengah membangun pertahanan di kawasan tersebut pada 1628. Abang dalam bahasa Jawa berarti merah.

Sejarah nama Tanah Abang rupanya ada beberapa versi. Selain cerita mengenai tanah merah, adapula yang mengatakan nama Tanah Abang berasal dari cerita “abang dan adik”.

Konon, ada seorang adik yang meminta abangnya untuk mendirikan rumah di kawasan itu. Lantaran rumah itu dibangun di atas tanah milik abangnya, maka disebutlah dengan Tanah Abang. “Tapi Engkong mah lebih percaya versi yang pertama, soalnya Engkong tahu betul kalau tanah di Tanah Abang itu warnanya merah,” ujar pria kelahiran 1927 itu.

Menjelang akhir abad 19, Tanah Abang mulai dibanjiri pendatang asal Arab. Bahkan, pada 1920, jumlah orang Arab di Tanah Abang tercatat 13 ribu jiwa.

Kedatangan orang Arab inilah yang kemudian dimanfaatkan para pedagang di Tanah Abang. Berbagai hal yang terkait dengan konsumsi orang Arab menjadi komoditas penting. Kambing salah satunya.

Kegemaran orang Arab menyantap makanan berbahan dasar kambing, memicu maraknya perdagangan kambing di kawasan itu. Bahkan kini, selain dikenal sebagai pusat tekstil terbesar di Asia Tenggara, Tanah Abang juga cukup dikenal sebagai pusat perdagangan kambing.

Keberadaan Pasar Tanah Abang memang berpengaruh penting terhadap tumbuhnya perkampungan di sekitarnya. Bak magnet, masyarakat Jakarta membangun pemukiman di sekitar pasar sejak jaman Hindia Belanda. Kini, pemukiman itu disatukan dalam satu kecamatan bernama Tanah Abang.


Cerita kawasan Tanah Abang dari

Sabtu, 05 November 2011
Sejarah daerah Tanah Abang

Tentunya tidak asing lagi di telinga kita ketika mendengar nama Tanah abang. tapi taukah anda sejarah kenapa bisa disebut Tanah abang, berdasarkan beberapa sumber sejarah yang saya baca dan yang saya tanya langsung dari penduduk peribumi begini ceritanya.
jalan jatibaru tanah abang tempo dulu
Dahulu daerah Tanah Abang mulai dari jalan Abdul Muis sampai dengan kebon kacang banyak sekali di tumbuhi pohon sejenis pohon palm yang bernama pohon Nabang. Orang Belanda menyebut daerah itu "The Nabang" atau di baca "De Nabang".
petamburan tempo dulu
Kemudian pada tanggal 30 Agustus 1735 seorang anggota dewan hindia belanda bernama Justinus vink mendapatkan izin dari Gubernur Jenderal Abraham Patram untuk membangun pasar, yaitu Pasar The Nabang, kemudian penduduk setempat menyebutnya singkat menjadi Pasar Tenabang, (biasa lah orang betawi rada kaku nyebut bahasa inggris) dan juga Pasar Weltervreden (sekarang bernama pasar senen) dalam surat izin tersebut Pasar Weltervreden hari pasarnya adalah hari sabtu. Pasar Senen khususnya menjualsayur-mayur dan pasar The Nabang menjual berbagai tekstil dan kelontong.
Kemudian perkembangan daerah ini semakin pesat, Nabang, atau Tenabang, berubah menjadi Tanah Abang setelah pembangunan stasiun KA tahun 1890. Perusahaan KA menganggap Tenabang itu berasal dari Tanah Abang dalam bahasa jawa berarti tanah merah, secara kebetulan juga daerah itu memang memiliki tanah berwarna merah. Lalu nama itu secara resmi digunakannya di stasiun KA. Besar kemungkinan pengelola stasiun itu berasal dari Jawa, ia mengira penyebutan Tenabang itu salah, lalu ia mencoba untuk “meluruskan”.
jalan tanah abang II tempo dulu
Kebakaran
Sejarah perkembangan Tenabang sendiri, tercatat banyak diwarnai peristiwa kebakaran. Kebakaran pertama kali pada 1740, atau lima tahun setelah dibangun, dengan terjadinya peristiwa pembantaian orang-orang Tionghoa. Dibangun kembali pada 1881, Tenabang dikembangkan lagi dengan pembangunan tiga bangunan berbentuk los panjang, dengan dinding bata dan atap genteng pada 1926, kondisi yang cukup modern pada saat itu.
inilah potret pasar Tanah Abang saat ini
Pada 1975 pemerintah melakukan renovasi, hingga terdapat sekitar 4.351 kios, dengan luas bangunan total menjadi sekitar 11.154 m2. Tapi baru saja direnovasi, Tenabang kembali terbakar pada 1978. Hampir seluruh kios di lantai dua Blok A, serta semua lantai di Blok B, hangus terbakar.
Perkampungan orang-orang Betawi perlahan lenyap, tempat-tempat yang menjadi kenangan masa lalu digantikan gedung tinggi dan megah nantinya. Seperti halnya kata Tenabang, yang kini telah dengan manstab tergantikan dengan nama Tanah Abang. Atau seperti Hotel Indonesia yang bersejarah itu kini berganti nama Hotel Gran Indonesia?

Semoga bacaan2 diatas ndak OOT. Berbicara mengenai SETASIUN TANAH ABANG akan jauh lebih baik jika mengenal sejarah kawasan Tanah Abang, karena perkembangannya saling berkaitan

Murtini

Lahir: Purwokerto, 12 Desember 1950
Wafat: Jakarta, 17 Juli 2012

Selamat jalan mama. Kelak kita akan bertemu kembali.

Semboyan 40, 41, mama aman berangkat.
Reply
#35
Seakan tidak mau kalau tiada kampungnya yg khusus... Tanah Abang kini menjadi salah satu sarang premanisme dan prostitusi di Jakarta yah.. Itu sih yg aku tahu dari cerita2 orang2... Trus mengenai alkisah semuanya... terima kasih juga nih buat situs Legenda Jakarta... di VIVA Forum... Melalui kisah singkatnya yang ada bisa jadi referensi nih setidaknya... Kini, bukan cuma orang2 keturunan Arab saja yang bernaung untuk berdagang yah... tapi juga ada India dan tentu Nigeria yang konon sering transaksi narkoba... Makanya harus ekstra hati2 yah kalau sembarangan menjejaki kawasan Tanah Abang yah...

Ini salah satu foto jepretan aku sewaktu berada di peron khusus perjalanan KA lintas barat Jakarta, yakni Merak - Serang - Rangkas Bitung - Serpong - Tn. Abang :


Seakan sudah membudaya ketidak tertiban yang ada...
Meski di foto ini belum ada raling tangga / pegangan buat senderan tangan dilengkapin juga tanda forbidden / larangan utk melewati anak tangga di sisi kanan, tetap saja mereka yang terburu2 keluar - masuk KA melanggar dg menerobos tanda larangan tsb pd kenyataan yg terjadi hari2...
Out of Topic ʕ•́ᴥ•̀ʔっ
Kalau pernah nonton tayangan Elshinta TV, pasti pernah tau kisah ttg "Petojo Enclek". Petojo itu kata sesepuh di sana yg gak lain seorang nenek yg dah tua banget itu konon diambil dari nama tentara Belanda yang berpet berwarna hijau. "Pet hijau" jadi nama "petijo". Lebih detail lagi masy. setempat lebih menyebutnya "Petojo". Sedangkan, "enclek" berarti cara buang hajat si tentara Belanda. Karena si nenek kala itu msh gadis bersama warga setempat sering lihat tentara Belanda buang hajat di sembarang tempat, maka sembari ngeledek tentara Belanda buang hajat, maka dikenallah namanya jati Petojo Enclek.
Petojo Enclek sendiri berada di kawasan Cideng yang enggak jauh dari kawasan Tn. Abang dan masih 1 kecamatan dengan Tn. Abang.







Reply
#36
Cerita tentang kawasan Tanah Abang dari

Tanahabang Bukit yang Menjanjikan Duit

BERITAJAKARTA.COM — 01-09-2010 07:35

Siapa menyangka jika kawasan Tanahabang yang kini menjelma menjadi pusat grosir pakaian terbesar di Asia Tenggara dengan perputaran uang yang besar, dulunya hanyalah merupakan hamparan tanah perbukitan dengan sejumlah pepohonan khas di atasnya.

Sejarawan asal Betawi, Ridwan Saidi, menuturkan, asal mula berdirinya nama sejumlah daerah di Jakarta bermula dari banyaknya flora atau tumbuhan yang ada di daerah tersebut, termasuk nama Tanahabang. Tanahabang, menurut Ridwan, memiliki ejaan yang sebenarnya yaitu Tenabang yang berasal dari de nabang. Nabang yang dalam bahasa latin disebut xylocarpus gramtum ini merupakan jenis pohon atau tumbuhan yang memiliki tinggi hingga 20 meter.

“Orang Betawi menyebutnya Tenabang sebagai plesetan dari De Nabang, konsonan D berubah menjadi T. Nabang adalah nama jenis pepohonan yang tumbuh di atas bukit. Nabang, atau Tenabang, akhirnya berubah menjadi Tanahabang,” kata Ridwan, Rabu (1/9).

Tumbuhnya pohon atau tanaman de nabang di kawasan yang kini bernama Tanahabang diprediksi ada sebelum Justinus Vinck, seorang tuan tanah berkebangsaan Belanda membangun sebuah pasar yang kini bernama pasar Tanahabang pada tahun 1735 atas persetujuan Gubernur Jenderal VOC, saat itu Abraham Patras.

Sementara penggunaan nama Tanahabang sendiri muncul setelah stasiun kereta api berdiri di kawasan tersebut sekitar akhir tahun 1890-an.

Lain Ridwan Saidi lain pula keterangan Yusuf (64) soal nama Tanahabang. Berdasarkan penuturan orangtuanya dulu, nama Tanahabang diambil dari kata tanah merah yang digunakan sebagai markas tentara. “Konon cerita yang saya dengar, daerah Tanahabang dulu menjadi daerah penempatan tentara Mataram saat akan menyerang tentara VOC atau Belanda. Karena banyak terdapat orang Jawa, mereka menyebut daerah tanah merah ini, menjadi Tanahabang,” kata Yusuf, tokoh masyarakat Tanahabang yang bermukim di Pasar Kambing, Jakarta Pusat.

Pengakuan Yusuf ini sesuai dengan cerita sejarah mengenai daerah Tanahabang pada tahun 1628, di mana saat itu daerah Tanahabang masih berupa rawa dan perkebunan yang banyak ditanam tanaman teh, kacang, melati, dan juga sirih di atas tanah perkebunan yang berwarna merah.

Cerita lain yang berkembang, pemberian nama Tanahabang, akibat perang antara tentara VOC dengan tentara Mataram di daerah tersebut. Banyaknya tentara yang gugur dari pihak tentara Mataram dan bersimbah darah, membuat tentara Mataram yang asli Jawa menyebutnya Tanahabang, atau tanah merah karena darah. Namun terlepas dari beragam versi yang ada, Tanahabang kini telah menjelma menjadi kawasan perdagangan dengan keuntungan ekonomis yang sangat menjanjikan.


Cerita tentang "Antara Tanah Abang dan Rangkasbitung dari

26 Januari 1999
Antara Tanahabang dan Rangkasbitung

Inilah wajah kereta api jurusan Tanahabang-Rangkasbitung, suatu Senin sore, pekan silam. Gerbong kereta api kelas ekonomi berukuran sekitar 10 x 3 meter persegi penuh sesak oleh manusia. Hawa panas membuat peluh berleleran membasahi wajah dan tubuh. Udara pengap. Jendela berukuran kecil-kecil tidak cukup memasukkan hawa segar, tapi para penumpang tampaknya tenang-tenang saja. Sering-sering terdengar jeritan dari si empunya kaki yang terinjak, gesekan pantat, cubitan tangan jahil, atau orang yang tersandung tumpukan karung dan kardus yang menutup jalan di pintu-pintu masuk kereta ?selebar 1,5 meter. Juga, bayi dan anak-anak yang menjerit dan menangis dalam gendongan ibunya.

Jalur kereta api Tanahabang-Rangkasbitung melayani penumpang dua kali dalam sehari. Ada dua pilihan untuk mencapai kota kecamatan di Kabupaten Serang ini.

Pertama, naik kereta api patas (cepat dan terbatas) jurusan Tanahabang-Merak dengan harga karcis Rp 1.500. Kedua, kereta api ekonomi jurusan Tanahabang-Rangkasbitung dengan harga karcis Rp 900.

Dari segi fasilitas, perbedaan itu tidak terlalu membawa arti. Paling-paling, ada palang-palang untuk berpegangan, sehinggga orang tidak perlu mengandalkan kelihaian gerak menyeimbangkan tubuh karena tiadanya palang tempat berpegangan seperti halnya di kereta ekonomi.

Perbedaan harga Rp 600 itu lebih membawa implikasi pada pilihan penumpang. Orang jauh lebih rela berjejal-jejal di kereta api ekonomi karena pengorbanan itu setara artinya dengan menghemat Rp 600.

Wartawan TEMPO bergabung bersama ratusan penumpang yang merebut sekadar sebuah tempat untuk berdiri dalam kereta api ekonomi jurusan Tanahabang-Rangkasbitung, pada Senin sore itu.

Kedatangan kereta itu benar-benar disambut "hangat" karena sudah terlambat satu jam lebih?dari jam berangkat yang seharusnya, pukul 14.47. Pukul 15.50, kereta enam gerbong tersebut meluncur pelan ke Stasiun Tanahabang.

Para calon penumpang langsung memadati jalur enam. Selebihnya adalah adu kuat merebut tempat. Apalagi, enam gerbong kereta ini hanya bisa dimasuki dari empat gerbong. Ketika gerbong itu sudah padat, napas mulai sesak.

Udara penuh dengan zat asam arang dari sekitar 300 manusia yang berhimpun dalam kereta yang berbau pesing itu. Sulit sekali menggerakkan tubuh. Kendati tidak ada tempat berpegang, praktis orang tak perlu khawatir karena batang tubuh manusia sudah tersusun tegak dan padat, sehingga kalau pun ada guncangan mendadak, orang praktis jatuh tersandar pada tubuh orang lain.

Toh, ada saja yang merasa longgar dalam ruang sepadat itu: "Biasa saja. Ini enggak padat. Kan masih bisa jalan," ujar seorang tukang susu sembari mengangkat ember susunya. Alhasil, beberapa orang masih berusaha keras mendorong sekuat tenaga dari luar agar bisa menyusupkan tubuhnya ke dalam. Namun, dorongan itu dibalas dari dalam (kereta) dengan cara yang sama dahsyatnya. "Jangan dorong-dorongan dong," beberapa ibu tidak tahan untuk menjerit melihat adegan yang mirip syuting film di pintu-pintu gerbong kereta.

Biasanya, para penumpang dari Stasiun Jakarta Kota sudah memenuhi tempat-tempat duduk yang ada. Sehingga para penumpang di stasiun-stasiun setelah itu sudah bersyukur bila dapat berdiri tegak. Hardikan, tangisan kanak-kanak, jeritan tak sabar, maki-makian, dan tawa berbaur menjadi satu, menjadi semacam kor rutin di tengah gumam percakapan yang makin lama makin keras karena deru suara kereta yang beradu dengan rel.

Aba-aba untuk berhenti diteriakan jauh-jauh sebelumnya, diiringi dengan hardikan atau permisi yang sopan membangunkan penumpang yang bersimpuh di lantai yang kotor, panas, dan penuh lumpur musim hujan.

Perkara turun pun bukan hal gampang, karena para penumpang yang membawa barang meletakkan karung-karung di depan pintu dengan perhitungan mereka bisa lebih ke luar, sehingga menghalangi benar penumpang harus bersicepat melompat turun di setiap perhentian.

Di Stasiun Sudimara, sekitar 25 persen penumpang turun. Tiba-tiba saja, tubuh menjadi lebih mudah bergerak dan napas terasa lebih enak. Seorang laki-laki berusia 50 tahun kontan menggelosor ke lantai, membuka sepatu ketsnya, lalu tangannya memijit jari-jari kakinya yang kesemutan.

Berdiri satu jam lebih antara Tanahabang-Sudimara memang mudah saja membuat orang kejang dan kesemutan. Longgarnya gerbong kereta adalah kesempatan baik yang langsung disambar para pedagang makanan dan minuman. Alhasil, ruangan yang sudah agak longgar itu kembali padat oleh lalu-lalang penjaja kudapan serta buah-buahan. Adegan-adegan yang absurd, bagi sebagian orang adalah pemandangan biasa bagi yang lain.

Seorang ibu, misalnya, kebingungan ketika anaknya yang berusia dua tahun menangis menahan pipis. Ia lalu menggamit suaminya, memberitahukan hal itu. Dan sang suami meneriakkan "aduh" sembari menepuk-nepuk jidatnya.

Beberapa penumpang menyarankan agar anak itu buang air kecil di lantai kereta saja: "Ah, anak kecil ini, " beberapa penumpang berusaha memberi semangat. "Nanti bisa kena kepala orang yang duduk di bawah," ujar sang ibu masih berusaha sopan. Urusan buang air kecil itu akhirnya diputuskan "secara sosial". Anak kecil itu akhirnya diturunkan dari gendongan dan menyelesaikan hajatnya setelah diizinkan beberapa penumpang di sekitarnya.

Selepas Stasiun Parungpanjang, kondektur mulai memeriksa karcis penumpang. Petugas kereta api rupanya sudah begitu terbiasa mengandalkan "penciuman"nya. Ia tidak memeriksa semua penumpang. Hanya sebagian yang rupanya benar-benar dicurigai tidak membawa karcis, ditanya atau dicolek.

Perjalanan menjadi lebih nyaman setelah Stasiun Tenjo. Tiba-tiba suara embik kambing membuyarkan konsentrasi sekelompok penumpang yang tengah bercakap-cakap. Seorang lelaki menuntun seekor kambing dewasa, melewati kerumunan orang di emperan stasiun, lalu menghilang di sebelah peron.

Tiba-tiba, astaga, lelaki dan kambing itu saling beradu cepat dengan ibu-ibu yang membawa bakul-bakul jualannya. Di pintu lain, seorang pria dengan susah-payah memasukkan sepeda gunungnya ke dalam gerbong yang licin.

Peluit kereta berbunyi diiringi dengan suara embikan beberapa kambing yang mengiringi perjalanan berikutnya. Uniknya, dalam perjalanan Tenjo-Tanahabang ada tiga pemberhentian kereta api yang bukan stasiun, masing-masing di Cilaku, Salimah, dan Basiran.

Para pemakai kereta menyebutnya dengan "Pos 2.000." Artinya? "Dulu masinis mau menghentikan kereta di tempat ini dengan imbalan Rp 2.000. Tapi sekarang, "tarif" itu sudah tidak berlaku. Minimal, kita harus ngasih Rp 6.000," kata Nandar (32 tahun), seorang penumpang yang naik di Pos 2.000 Cilaku.

Pengumpulan dana "pos darurat" ini dilakukan secara kolektif. Setiap orang memberi iuran Rp 300, pelajar cukup Rp 200. Setelah terkumpul, uang itu diserahkan ke masinis," tutur pria yang bekerja di sebuah bengkel di daerah Jombang, Tangerang ini. Untuk turun? lagi-lagi, bukan di stasiun resmi, juga ada tarif tersendiri, hanya lebih murah, Rp 3.000 sudah cukup membuat masinis mengerem kereta.

Mekanisme naik-turun di pos dadakan itu bukan berarti mereka bebas dari kewajiban membeli karcis. "Kita memang harus membeli karcis. Uang Rp 6.000 itu hanya untuk menghentikan kereta saja. Tapi biasanya kami sudah berlangganan," tutur Nandar.

Urusan asmara juga bisa terjalin di kereta. Di ujung gerbong seorang wanita dikerubuti lima laki-laki. Mereka saling bercanda. Sesekali, tangan salah seorang lelaki mencolek sang nona. Yang dicolek tertawa gembira, memberi angin.

Di sela-sela itu, Nurdin (28 tahun) membagi-bagikan kartu anggota Orsaka (Organisasi Sosial Anak Kereta Api), sebuah klub pengguna jasa kereta api. "Organisasi ini berdiri tiga bulan lalu. Tujuannya untuk saling membantu bila ada kesusahan.

Setiap anggota ditarik iuran Rp 500-Rp 1000," tutur Nurdin yang sudah berhasil mengumpulkan 80 anggota. Organisasi ini juga sudah mulai memikirkan kepentingan anggotanya dalam skala lebih makro. Misalnya, meminta Perumka untuk tidak mengubah jadwal dan menambah gerbong. "Selama ini, jadwal pemberangkatan selalu diubah dan gerbong tidak pernah ditambah, sehingga kereta selalu penuh sesak.

Tapi itu pekerjaan bersama yang harus didukung seluruh pengguna jasa kereta api," ujarnya dengan suara yang makin lama makin bersemangat. Perjalanan Tanahabang-Rangkasbitung menghabiskan waktu sepanjang dua jam 25 menit, bukan waktu yang sangat panjang, tapi lebih dari cukup untuk memotret beragam sketsa kehidupan manusia. Ada tragedi, komedi, juga tragikomedi.


Murtini

Lahir: Purwokerto, 12 Desember 1950
Wafat: Jakarta, 17 Juli 2012

Selamat jalan mama. Kelak kita akan bertemu kembali.

Semboyan 40, 41, mama aman berangkat.
Reply
#37
SETASIUN TANAH ABANG, dipotret dari sebelah utara, timur dan selatan. 7 Maret 2012. 15:59 WIB - 16:35 WIB

[spoiler=sebelah utara (Foto 1-6)]
[spoiler=Foto 1 - 15:59 WIB. STABLING KA. SENJA EKONOMI BENGAWAN THB-SK
]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 2 - 15:59 WIB. STABLING KA. SENJA EKONOMI BENGAWAN]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 3 - 16:01 WIB. STABLING KA. SENJA EKONOMI BENGAWAN]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 4 - 16:02 WIB. STABLING KA. SENJA EKONOMI BENGAWAN]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 5 - 16:03 WIB.]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 6 - 16:04 WIB. Sinyal Langsir L30]
640x480
[/spoiler][/spoiler]
[spoiler=sebelah utara (Foto 7-12)]

[spoiler=Foto 7 - 16:05 WIB.]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 8 - 16:05WIB. Kereta Bagasi KA. SENJA EKONOMI BENGAWAN THB-SK]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 9 - 16:08 WIB. KA. BATU BARA CGD-BKS]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 10 - 16:08 WIB. KA. BATU BARA CGD-BKS]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 11 - 16:08 WIB. KA. BATU BARA CGD-BKS]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 12 - 16:08 WIB. KA BATU BARA CGD-BKS]
640x480
[/spoiler][/spoiler]
[spoiler=sebelah utara (Foto 13-18)]

[spoiler=Foto 13 - 16:08 WIB. KA. BATU BARA CGD-BKS]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 14 - 16:09 WIB. KA. BATU BARA CGD-BKS]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 15 - 16:15 WIB. KA. EKONOMI LOKAL JAKK-RK]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 16 - 16:15 WIB. KA. EKONOMI LOKAL JAKK-RK]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 17 - 16:15 WIB. KA. EKONOMI LOKAL JAKK-RK]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 18 - 16:15 WIB. KA. EKONOMI LOKAL JAKK-RK]
640x480
[/spoiler][/spoiler]
[spoiler=sebelah utara (Foto 19-24)]

[spoiler=Foto 19 - 16:17 WIB. KRL AC]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 20 - 16:17 WIB. KRL AC]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 21 - 16:17 WIB. KRL AC]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 22 - 16:18 WIB. KRL AC]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 23 - 16:18 WIB. KRL AC]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 24 - 16:19 WIB. Sinyal Langsir L50]
640x480
[/spoiler][/spoiler]

[spoiler=sebelah utara (Foto 25-26)]

[spoiler=Foto 25 - 16:20 WIB.]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 26 - 16:20 WIB.]
640x480
[/spoiler][/spoiler]

[spoiler=Pagar sebelah utara yang dijebol. Saya motret lewat sini. Parkir motor di pinggir Jl. Citarum (Foto 27-29)]

[spoiler=Foto 27 - 16:22 WIB.]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 28 - 16:22 WIB.]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 29 - 16:22 WIB.]
640x480
[/spoiler][/spoiler]

[spoiler=Pintu Masuk Menuju DIPO LOKOMOTIF TANAH ABANG (Foto 30)]

[spoiler=Foto 30 - 16:23 WIB. Pintu Masuk Menuju DIPO LOKOMOTIF TANAH ABANG]
640x480
[/spoiler][/spoiler]

[spoiler=sebelah timur. Bagian Depan SETASIUN TANAH ABANG. Dipotret dari Jl. Jatibaru (Foto 31-34)]

[spoiler=Foto 31 - 16:28 WIB.]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 32 - 16:28 WIB.]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 33 - 16:28 WIB.]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 34 - 16:29 WIB.]
640x480
[/spoiler][/spoiler]

[spoiler=sebelah selatan. Dipotret dari 2 sisi flyover Jl. KS. Tubun (Foto 35-36)]

[spoiler=Foto 35 - 16:31 WIB. Rel arah ke selatan]
640x480
[/spoiler]

[spoiler=Foto 36 - 16:35 WIB. Rel arah ke utara]
640x480
[/spoiler][/spoiler]

Murtini

Lahir: Purwokerto, 12 Desember 1950
Wafat: Jakarta, 17 Juli 2012

Selamat jalan mama. Kelak kita akan bertemu kembali.

Semboyan 40, 41, mama aman berangkat.
Reply
#38
Perlu dijelasin juga...
- Pada foto KRL AC itu lebih tepatnya Commuter Line Bogor - Jatinegara yang kini menguasai petak rel Tn. Abang - Kamp. Bandan. Sebab cuma KRL rute ini satu2nya yang melanglang buana seiring pengoperasian sistem loop line sejak tgl 1 Desember 2011.
- Di foto tampak dari jembatan layang itu dahulu petak relnya diselimutin perumahan kumuh yg kini sudah semakin dibersihin dan kelihatan lebih tertib yah...

Reply
#39

makasih buat tambahannya. maklum saya awam banget soal nama2 KRL Xie Xie

yg dimaksud kawasan bongkaran yg ada tenda2 biru itu kan??? kayaknya masih beroperasi ya (tempat maksiatnya)?????

Murtini

Lahir: Purwokerto, 12 Desember 1950
Wafat: Jakarta, 17 Juli 2012

Selamat jalan mama. Kelak kita akan bertemu kembali.

Semboyan 40, 41, mama aman berangkat.
Reply
#40
Kyknya ada "jalan tikus" nih Ngakak
kalau mau di add monggo, ga di add/follow juga ora popo Ngeledek

Reply


Forum Jump:


Users browsing this thread: 2 Guest(s)