Pertemuan Itu Mengasah Peradaban
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Penumpang KA Prambanan Ekspres mendapat tontonan atraksi seni dari Sanggar Wayang Suket Surakarta dan LSM Yayasan KAKAK saat kampanye pemberian ASI eksklusif kepada anak, awal Agustus 2009.
Minggu, 24 Januari 2010 | 02:30 WIB
DAHONO FITRIANTO
Kota-kota besar lain di Indonesia harus belajar dari keberhasilan KA Prambanan Ekspres yang menghubungkan Yogyakarta dan Solo. Selain menjadi solusi untuk masalah kepadatan jalan raya, angkutan massal itu juga mengajarkan banyak hal kepada manusia-manusia yang sedang mengurban di dua kota yang terkenal sebagai basis budaya tradisional Jawa itu.
Simak bagaimana perilaku orang-orang di sana mulai bergeser. Dulu, orang Jawa dikenal dengan budaya nglaras-nya, hidup santai dan nyaman ala priayi. Memilih moda transportasi pun sebisa mungkin yang paling nglaras: Bisa ditemukan sedekat mungkin dengan rumah dan bisa mengantarkan secepat mungkin ke tujuan.
Itu sebabnya becak dan ojek merajalela, dan angkutan kota yang bisa berhenti di sembarang tempat lebih diminati daripada jenis kendaraan yang lebih disiplin tempat dan waktu, misalnya bus kota yang hanya berhenti di halte yang sudah ditentukan sesuai jadwal.
Namun, seiring dengan kemajuan zaman, pilihan-pilihan â€Ânglaras†tadi memunculkan â€Âharga†yang harus dibayar. Ketertiban lalu lintas terabaikan, jalan menjadi acak-acakan, dan pada gilirannya, perjalanan pun makin tidak nyaman dan makin lama sampai ke tujuan.
Dalam kondisi seperti itu, orang jadi makin mementingkan diri sendiri. â€ÂAku†harus menjadi yang pertama dan diutamakan, tak peduli bagaimana caranya. Tak heran, copet, preman, dan begal pun bergentayangan. Anda bisa dibius atau dihipnotis dan dirampok habis-habisan tanpa seorang pun di sekitar Anda peduli.
Ruang berbagi
Lalu muncullah KA Prambanan Ekspres atau Prameks. Pada awalnya, orang memilih KA karena menjanjikan perjalanan yang lebih cepat.
Namun, KA hanya bisa ditemui di stasiun, yang lokasinya tak bisa diutak-atik lagi. Ia juga hanya berjalan saat jadwal menyuruhnya begitu. Maka tak ada pilihan lain bagi para peminat KA untuk harus mendatangi stasiun pada waktu yang ditentukan. Disiplin tempat dan waktu pun mulai dibangun. â€ÂKalau enggak disiplin, ya kita sendiri yang rugi, ketinggalan kereta,†ungkap Ichwan Mustofa, juru bicara Paguyuban Prameks.
Itu baru satu hal. Pelajaran lain yang diberikan Prameks adalah makna pertemuan antarmanusia. I Wayan Sadra, seniman musik dan dosen ISI Surakarta yang sedang menyelesaikan program S-3 di ISI Yogyakarta, mengatakan, di dalam KA Prameks bisa ditemui hampir semua kalangan masyarakat. â€ÂIbaratnya dari yang paling kaya sampai yang paling miskin bertemu di dalam kereta itu. Meski ini kereta murah, tetapi interaksi di dalamnya sangat kaya,†tutur Sadra, yang selalu mengandalkan Prameks untuk bolak-balik Solo-Yogya ini.
Saat semua anggota masyarakat dari berbagai latar belakang kehidupan bertemu di suatu ruang, makaâ€â€seperti pernah ditengarai oleh wartawan dan pengajar filsafat Budiarto Danujayaâ€â€ruang tersebut menjadi tempat untuk saling berbagi nilai-nilai kehidupan universal di tengah kota yang makin memicu sikap individual. Itulah yang terjadi di dalam Prameks dengan paguyuban penumpangnya.
Menurut Ketua Paguyuban Prameks Kuntoro Wardoyo, pertemuan dan kekompakan para penumpang Prameks di atas KA tersebut membuat mereka secara otomatis menjalankan berbagai aturan tak tertulis, seperti tidak merokok di atas kereta atau memberikan tempat duduk kepada orang yang lebih membutuhkan. â€ÂSemuanya berawal dari kesadaran sendiri dan rasa melu handarbeni, ikut memiliki Prameks ini. Toh kalau kereta ini nyaman, kan kami sendiri yang untung,†tutur Kuntoro.
Saat Kompas menjajal naik Prameks hari Kamis (21/1) siang, memang tak terlihat orang merokok di dalam gerbong Prameks, yang tak ber-AC. Tanpa peraturan daerah yang mengancam perokok dengan hukuman penjara atau rambu-rambu larangan yang mencolok, penumpang sudah dengan sendirinya sadar bahwa merokok di ruang publik, dan ada anak-anak atau ibu hamil, adalah tidak pantas.
Interaksi beradab
Para anggota paguyuban pun sudah menjalin hubungan baik dengan kondektur atau satuan pengaman kereta, sehingga apabila ada penumpang yang menunjukkan gelagat mau berbuat jahat, mereka langsung mengirim SMS.
â€ÂKalau sampai ketahuan ada penumpang yang tidak beli tiket, atau membayar kondektur di atas kereta, kami akan meng-SMS Manajer Operasi (PT Kereta Api) Daop VI biar besoknya langsung ditindak. Dengan cara seperti ini, akhirnya kami saling mengawasi dan menjaga,†ungkap Eko Maharjanto, Bendahara Paguyuban Prameks.
Sadra melihat semua itu sebagai sebuah interaksi antarmanusia untuk saling mengasah peradaban yang lebih tinggi. â€ÂSaya pernah melihat ada seorang ibu-ibu yang menggendong anak, dan tanpa pikir panjang, orang yang masih muda langsung mempersilakan dia duduk,†tutur penggagas Sono-Seni Ensemble ini.
Pengamat kebudayaan urban dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Bambang Kusumo Prihandono, melihat keberadaan KA Prameks makin melebur jarak antara Yogyakarta dan Solo.
Para penglaju, baik dari Yogya ke Solo maupun sebaliknya, menurut Bambang, menjadi pengamat kota, atau flâneur dalam istilah Walter Benjamin. â€ÂMereka memiliki pengalaman-pengalaman yang berbeda dibanding orang yang menetap di satu tempat saja. Mereka menjadi pengamat terhadap segala sesuatu dan berbagai perubahan yang terjadi di sekelilingnya,†ujarnya.
Dalam konteks hubungan Yogyakarta dan Solo, hal ini menjadi menarik karena kemudian meleburkan semacam â€Âperang dingin†dan kontestasi identitas yang terjadi sejak dulu antara dua kota itu. â€ÂYogya dan Solo sudah tidak lagi menjadi persoalan wilayah. Orang tidak lagi memandang Solo dan Yogya sebagai identitas kota yang berbeda. Kontestasi (identitas) itu menjadi tidak relevan lagi,†kata Bambang.
Sebagai gantinya, lanjut Bambang, identitas-identitas lokal itu berubah menjadi identitas tunggal, yakni identitas urban. Dan semua itu dipercepat dengan adanya perkembangan teknologi, termasuk teknologi transportasi, seperti dibuktikan oleh Prameks.
SEJARAH
Sempat Mau Ditutup
Minggu, 24 Januari 2010 | 02:29 WIB
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Setiap akhir pekan, kereta Prambanan Ekspres (Prameks) dijejali penumpang reguler maupun wisatawan, sebagaimana yang ditemui di Stasiun Besar Tugu Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
Lukas adi Prasetya
Pertama kali diluncurkan pada tahun 1994, rangkaian Kereta Api Prambanan Ekspres atau Prameks tidak langsung sukses seperti sekarang. Bahkan pihak PT Kereta Api Daerah Operasi VI Yogyakarta sempat mau menutup operasional KA tersebut.
Saat itu, para penglaju yang menempuh jalur Solo-Yogyakarta atau sebaliknya masih fanatik menggunakan bus sebagai transportasi antarkota jarak dekat. KA dianggap sebagai kendaraan umum khusus rute jauh, misalnya ke Jakarta.
Kini, Prameks menjadi kereta rakyat. Data PT KA Daop VI menunjukkan, sepanjang tahun 2009, Prameks total mengangkut 2.697.564 penumpang, melebihi kapasitas akumulatif 2.108.288 tempat duduk.
Dengan tiket jurusan Yogyakarta-Solo yang dibanderol hanya Rp 8.000 per kepala, tahun lalu Prameks menyumbangkan pendapatan kotor sekitar Rp 21,58 miliar kepada PT KA. Tanpa merinci berapa keuntungan bersih dari operasional Prameks ini, Kepala Humas PT KA Daop VI Eko Budiyanto mengatakan, secara rupiah, Prameks sebenarnya tidak terlalu menguntungkan.
â€ÂLebih menguntungkan ’jualan’ KA bisnis dan eksekutif yang menempuh rute jauh. Dengan harga tiket murah, Prameks tak bisa mendulang banyak keuntungan karena biaya perawatan KA sangat banyak. Tapi secara strategi, Prameks tepat. Peminat selalu ada, bahkan terus bertambah,†tutur Eko di Yogyakarta, Selasa (19/1).
Diperpanjang
Prameks diluncurkan pertama kali pada 20 Mei 1994. Nama Prameks dipilih setelah pernah diusulkan nama lain, yaitu Joglo (Jogja-Solo) Ekspres. Di awal operasinya, Prameks memakai rangkaian KA Senja Utama Solo yang sedang istirahat.
Rute yang dilayani baru Yogya-Solo pergi-pulang tiga kali sehari. Seiring dengan meningkatnya permintaan, frekuensi perjalanan ditambah. Pada Maret 2000, perjalanan diperpanjang dari Stasiun Solo Balapan ke Stasiun Solo Jebres, lalu diperpanjang lagi sampai Stasiun Palur di timur Solo.
Setelah jalur rel ganda KA Yogya-Kutoarjo selesai dibangun, September 2007, PT KA Daop VI melakukan uji coba Prameks rute Yogya-Kutoarjo sejauh 83 kilometer. Di akhir pekan, penumpang Prameks makin penuh karena ditambahi warga Solo dan Kutoarjo yang ingin jalan-jalan ke Yogyakarta.
Saat ini, sebanyak 22 perjalanan KA Prameks per hari dilayani tiga set kereta rel diesel elektrik (KRDE) dan tiga kereta rel diesel (KRD). KRDE yang dipakai adalah kereta rel listrik (KRL) Holec buatan Belanda yang direnovasi dan dimodifikasi oleh PT INKA tahun 1980. Tenaga listrik KRDE ini dihasilkan mesin diesel merek Cummins.
Diesel dianggap lebih murah dan praktis ketimbang tenaga listrik yang peranti pendukungnya mesti dibangun di sepanjang rute. Sementara untuk jenis KRD yang dipakai adalah buatan Jepang tahun 1970-an, meski mesinnya tetap memakai Cummins. KRD ini hibah dari Pemerintah Jepang.
Rangkaian KA yang digunakan Prameks memang sudah tua. Banyak cerita tentang kerusakan KA menimpa Prameks. Sebulan ini, misalnya, karena KRD rusak, perjalanan Prameks terpaksa meminjam KA Senja Utama dan Fajar Utama secara bergantian. Tak heran KRD dan KRDE bekas ini sering rusak karena total jarak tempuh per hari untuk bolak-balik Solo-Yogya bisa mencapai 600 kilometer, atau sama seperti jarak Yogya-Jakarta.
Di Prameks, Kita Kan Berjumpa...
Minggu, 24 Januari 2010 | 02:28 WIB
WAWAN H PRABOWO
Kereta api Prambanan Ekspres (Prameks) melintas di atas Jembatan Kewek Yogyakarta, Senin (18/1).
DAHONO FITRIANTO
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.30 lebih sedikit saat rangkaian KA Prambanan Ekspres memasuki Stasiun Tugu Yogyakarta, Senin (18/1). Barisan panjang penumpang sudah menunggu di peron stasiun. Mereka adalah orang-orang senasib dalam gerbong kehidupan.
Mereka langsung berdesak-desakan masuk ke gerbong begitu kereta berhenti. Tempat duduk yang tersedia pun terisi dengan cepat. Beberapa menit kemudian, kereta bergerak perlahan ke arah timur. Para penumpang yang tidak kebagian tempat duduk pasrah berdiri bersandar di dinding gerbong atau di sandaran kursi penumpang lain.
Namun, ada sebagian penumpang yang rupanya sudah bersiap tidak kebagian tempat duduk. Mereka mengeluarkan kursi lipat kecil dari tas mereka, lalu membukanya di gang, di antara dua baris tempat duduk, dan duduk santai di situ. â€ÂBegini lebih santai, mas. Tidak ada kewajiban untuk memberikan tempat duduk ke orang lain. Kan, bawa kursi sendiri, he-he-he,†tutur Ichwan Mustofa (35), salah seorang penumpang â€Âberdikari†itu.
Ichwan adalah satu di antara ratusanâ€â€atau bahkan ribuanâ€â€penglaju yang setiap hari menggunakan jasa KA Prameks untuk pergi-pulang ke tempat kerja. Dia berdomisili di daerah Baluwarti, di kompleks keraton Surakarta, Solo, Jawa Tengah, dan berkantor di salah satu bank swasta di Jalan Gejayan, Yogyakarta.
Praktis
Kuntoro Wardoyo (44), warga Gemblegan, Kota Solo, sudah empat tahun ini menggunakan jasa Prameks untuk mengantarnya ke kantor di Jalan Jenderal Soedirman, Yogyakarta. â€ÂSaya sudah sembilan tahun nglaju Solo-Jogja. Dulunya naik bus, tetapi lama-lama tidak enak, jadi pindah naik Prameks,†tutur karyawan bank ini. Kecepatan memang menjadi alasan utama para penglaju ini memilih jasa Prameks. Jarak Solo-Yogyakarta yang sekitar 65 kilometer itu bisa ditempuh dalam waktu 45-50 menit dengan Prameks.
Sementara Kompas, yang pada hari Rabu (20/1) mencoba menggunakan mobil pribadi melalui jalan raya, membutuhkan waktu hampir dua jam untuk perjalanan dari pusat kota Solo hingga pusat kota Yogyakarta. Jalan yang padat, banyak persimpangan lampu lalu lintas, dan truk-truk besar yang berjalan pelan membuat perjalanan menjadi tersendat.
Kira-kira waktu tempuh yang sama harus dijalani jika para penglaju ini memilih menggunakan bus. â€ÂSudah gitu, di bus banyak pengamen yang bikin risi. Sepanjang Yogya-Solo, bisa enam pengamen yang naik ke bus. Kadang ada copet juga,†ungkap Yunita (28), penglaju Solo-Yogya lainnya.
Naik bus juga tidak praktis karena bus-bus antarkota tidak diizinkan masuk hingga ke jalan-jalan di pusat kota. Sementara dengan Prameks, penumpang bisa turun di stasiun-stasiun di pusat kota. â€ÂSetiap pulang kantor, saya cukup jalan kaki sekitar 15 menit sudah sampai Stasiun Lempuyangan. Murah, praktis, dan sehat,†tutur Eko Maharjanto (40), warga Kratonan, Solo, yang berkantor di daerah Kotabaru, Yogyakarta.
Bagi yang rumah atau kantornya masih agak jauh dari stasiun, mereka menyiasati dengan menggunakan sepeda motor lalu diparkir di stasiun. â€ÂSaya punya dua sepeda motor, satu ditaruh di Stasiun Balapan untuk transportasi ke rumah, satu di Stasiun Lempuyangan buat ke kantor,†ungkap Ichwan.
Arisan dan asmara
Berbagai kepraktisan, yang sudah menjadi tuntutan gaya hidup urban, itulah yang membuat peminat Prameks makin bertambah dari hari ke hari. Mereka rela berdiri berdesak-desakan asal cepat dan selamat sampai ke tujuan.
Lama-lama hubungan antarpenglaju ini makin akrab dan guyub. â€ÂLha, wong, tiap hari ketemu, ya lama-lama kenalan, ngobrol, terus jadi akrab,†kata Emilia (25), karyawati sebuah konsultan pendidikan di Yogya.
Bahkan, pertemuan rutin di atas kereta api ini pun pernah berbuah cinta. â€ÂMereka dulu teman sekantor dan sama-sama penglaju dari Solo, jadi setiap hari berangkat dan pulang kantor naik Prameks bareng terus. Mereka akhirnya pacaran dan menikah. Foto prewedding-nya saja pakai latar belakang Prameks,†tutur Eko.
Seiring dengan makin akrabnya para penglaju di atas Prameks ini, mereka bahkan sampai membuat Paguyuban Prameks. â€ÂPenggagasnya dulu namanya Pak Murdiyanto, yang sudah 20 tahun nglaju Solo-Yogya naik kereta sejak zamannya (KA) Kuda Putih tahun 1970-an,†ujar Kuntoro, yang menjadi Ketua Paguyuban Prameks saat ini.
Salah satu acara rutin paguyuban ini adalah menggelar arisan di atas kereta, seperti terlihat hari Selasa (19/1) sore. â€ÂAnggota paguyuban saat ini ada 200-an orang, tetapi yang ikut arisan cuma sekitar 70 orang. Arisannya Rp 10.000-an, wong cuma buat rame-rame,†imbuh Kuntoro.
Di tengah obrolan hangat ini, perjalanan pun menjadi tak terasa. Tahu-tahu, kereta sudah berjalan melambat, memasuki Stasiun Purwosari di tengah Kota Solo. Ichwan pun melipat kursi kanvasnya lagi dan bersiap-siap untuk turun. Sebelum beranjak, ia menoleh kepada Yunita dan berkata,
â€ÂSesuk mangkat jam piro?†(Besok berangkat jam berapa?)
â€ÂBiasa wae, jam setengah enem.†(Biasa aja, jam 05.30)
â€ÂYo wis, ketemu nang stasiun yo!†(Ya sudah, ketemu di stasiun ya!â€Â
Esok hari, kita kan berjumpa lagi di Prameks....
Sumber: cetak.kompas.com
Edisi Minggu 24 Januari 2010
Habitus Pramekers
Sumber: cetak.kompas.com
Sabtu, 27 Desember 2008 | 11:58 WIB
Oleh ANHAR WIDODO
Saat mulai menjalani hari-hari sebagai pramekerspenumpang setia Kereta Api Prameksdari Solo ke Yogyakarta, dan sebaliknya, saya tidak menemukan hal yang menarik selain bahwa hal itu adalah rutinitas dari para komuter. Mereka yang tinggal dan hidup di satu kota (Solo), tetapi dengan aktivitas harian (bekerja/belajar) di Yogyakarta, demikian sebaliknya. Lambat laun, saya mencermati dan menemukan sejumlah perubahan baru dalam rutinitas sebagai pramekers. Asumsinya, hidup dalam irama dan aturan Kereta Api Prambanan Ekspress adalah sebuah kompleksitas sosial yang menarik untuk dicermati. Saya teringat dengan konsep habitus dari Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis. Mengutip Haryatmoko (Basis, Nomor 11-12, Tahun Ke-52/2003), Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai pengondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas.
Hasil suatu habitus: sistem- sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur- struktur yang dibentuk, yang dimaksudkan untuk berfungsi sebagai struktur-struktur yang membentuk. Artinya, menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktik-praktik hidup dan representasi-representasi, yang dapat disesuaikan dengan tujuan-tujuan tanpa mengandaikan pengarahan tujuan secara sadar dan penguasaan secara sengaja upaya-upaya yang perlu untuk mencapainya, secara obyektif diatur dan teratur tanpa harus menjadi buah dari kepatuhan akan aturan-aturan dan secara kolektif diselaraskan tanpa harus menjadi hasil dari pengaturan seorang dirigen. Gagasan ini tentunya tidak akan menempatkan konsep habitus Bourdieu secara tepat, mendalam, dan luas pada upaya melihat fenomena pramekers. Bukankah saat kita menjadi pelanggan setia KA Prambanan Ekspress (Prameks) dan dicap sebagai pramekers, kita telah masuk dalam kelas tertentu dengan seperangkat syarat dan aturan yang telah dikondisikan sebelumnya. KA Prameks diberangkatkan pada jam-jam tertentu yang telah ditetapkan waktunya dan berlaku untuk jangka waktu yang cukup lama. Artinya, rutinitas irama terbentuk karena kepastian jadwal sebagai salah satu struktur pembentuk. Dengan alasan keteraturan (waktu datang, berangkat, dan sampai di tujuan) dan kepastian (jadwal, harga tiket yang terjangkau, dan kenyamanan-layanan) dibandingkan dengan moda transportasi lain yang melayani rute Solo-Yogya dan sebaliknya, KA Prameks telah membangun sebuah komuter yang disebut dengan pramekers. Kebiasaan Menjadi sangat menarik mengaitkan konsep habitus-nya Bourdieu dengan habit (kebiasaan) pramekers. Mulai dari soal cara mencatat dan menghafalkan jadwal, mengantre tiket, sampai mencari tempat duduk paling pas di stasiun.
Soal di pintu bagian mana (depan, tengah, atau belakang) mereka akan naik ke atas kereta, sampai aktivitas yang akan dilakukan baik saat perjalanan berangkat ke tujuan maupun kembali ke asal. Dengan memerhatikan lebih seksama mereka yang memilih menjadi pramekers, kita dapat melihat masyarakat seperti apa yang melingkupi dan hidup di sekitar kita. Pramekers pekerja biasanya adalah mereka yang menggunakan kereta yang berangkat paling awal dan kembali lebih terakhir. Tiket mereka adalah tiket terusan (langganan) yang berlaku untuk jangka waktu tertentu (bulanan), dengan demikian mereka hemat beberapa ribu rupiah karena mendapatkan diskon/potongan harga. Sesaat setelah kereta berjalan, mereka mengaktifkan music player, memasang headphone, dan mulai memejamkan matamemanfaatkan waktu satu jam perjalanan untuk menyambung tidur pagi yang terputus karena harus mengejar kereta. Pramekers pelajar/mahasiswa, biasanya mereka menggunakan kereta yang tidak terlalu pagi dan kembali lebih awal dari para pekerja.
Ada sebagian dari mereka yang menggunakan tiket terusan (langganan), tetapi banyak yang lain menggunakan tiket sekali jalan. Pramekers pelajar/mahasiswa menggunakan waktu dalam perjalanan mereka untuk melakukan komunikasi dengan telepon seluler (bertelepon atau ber- SMS), atau membaca buku, majalah, koran, atau artikel tertentu dari tugas kuliah. Adanya fasilitas penjualan koran dengan harga lebih murah di atas Prameks, juga membangun komunitas pembaca yang luar biasa. Tak jarang, pramekers membeli lebih dari satu eksemplar korankatanya pesanan teman-teman mereka di tempat bekerja. Pada jam-jam tertentu, pramekers tidak mendapatkan tempat duduk karena meskipun masuk kategori kelas bisnis, Prameks tidak melakukan pembatasan jumlah penumpangmaka otomatis ada orang-orang yang berinisiatif membagikan koran bekas kepada mereka yang berdiri, untuk kemudian digelar menjadi alas tempat duduk di lantai di antara kursi yang saling berhadapan. Jadwal pasti Sekali waktu, Prameks datang terlambat atau dengan jumlah gerbong yang tidak sebanding dengan penumpang yang harus diangkut. Akibatnya, mereka yang punya jadwal pasti menjadi terlambat atau mereka yang seharusnya bisa duduk menjadi harus lesehanini dapat menimbulkan gejolak yang bagi PT Kereta Api seminimal mungkin harus dihindari dan diantisipasi.
Bahkan, sampai ada pramekers yang menulis sejumlah keluhan dan harapan kepada Prameks agar semakin meningkatkan kualitas jasa pelayanannya. Ternyata bukan hanya soal yang berkaitan langsung dengan kereta api yang berubah saat seorang menjadi pramekers. Lebih dari itu, jadwal dan irama hidup di rumah maupun dinamika kegiatan mereka di tempat kerja atau tempat belajar menjadi sangat berkaitan langsung dengan jadwal kedatangan, keberangkatan, dan sampainya KA Prameks di tempat tujuan. Upaya-upaya pencapaian tujuan dan kolektivitas tanpa harus terikat komando (dirigen) sebagai salah satu hasil habitus sebagaimana dimaksud Bourdieu di awal tulisan ini, sangat nyata muncul dalam diri pramekers, para penumpang setia KA Prameks. Satu hal yang belum muncul dari kolektivitas tersebut adalah upaya membangun relasi/komunikasi aktif sehingga pramekers sebagai sebuah kelas tertentu dapat memberikan kontribusi positif sebagai sumber penggerak tindakan, pemikiran, dan representasi pada lingkungan sosial budaya di mana mereka berada. ANHAR WIDODO Pramekers, Dosen ISI Solo Mahasiswa Pascasarjana Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Penumpang KA Prambanan Ekspres mendapat tontonan atraksi seni dari Sanggar Wayang Suket Surakarta dan LSM Yayasan KAKAK saat kampanye pemberian ASI eksklusif kepada anak, awal Agustus 2009.
Minggu, 24 Januari 2010 | 02:30 WIB
DAHONO FITRIANTO
Kota-kota besar lain di Indonesia harus belajar dari keberhasilan KA Prambanan Ekspres yang menghubungkan Yogyakarta dan Solo. Selain menjadi solusi untuk masalah kepadatan jalan raya, angkutan massal itu juga mengajarkan banyak hal kepada manusia-manusia yang sedang mengurban di dua kota yang terkenal sebagai basis budaya tradisional Jawa itu.
Simak bagaimana perilaku orang-orang di sana mulai bergeser. Dulu, orang Jawa dikenal dengan budaya nglaras-nya, hidup santai dan nyaman ala priayi. Memilih moda transportasi pun sebisa mungkin yang paling nglaras: Bisa ditemukan sedekat mungkin dengan rumah dan bisa mengantarkan secepat mungkin ke tujuan.
Itu sebabnya becak dan ojek merajalela, dan angkutan kota yang bisa berhenti di sembarang tempat lebih diminati daripada jenis kendaraan yang lebih disiplin tempat dan waktu, misalnya bus kota yang hanya berhenti di halte yang sudah ditentukan sesuai jadwal.
Namun, seiring dengan kemajuan zaman, pilihan-pilihan â€Ânglaras†tadi memunculkan â€Âharga†yang harus dibayar. Ketertiban lalu lintas terabaikan, jalan menjadi acak-acakan, dan pada gilirannya, perjalanan pun makin tidak nyaman dan makin lama sampai ke tujuan.
Dalam kondisi seperti itu, orang jadi makin mementingkan diri sendiri. â€ÂAku†harus menjadi yang pertama dan diutamakan, tak peduli bagaimana caranya. Tak heran, copet, preman, dan begal pun bergentayangan. Anda bisa dibius atau dihipnotis dan dirampok habis-habisan tanpa seorang pun di sekitar Anda peduli.
Ruang berbagi
Lalu muncullah KA Prambanan Ekspres atau Prameks. Pada awalnya, orang memilih KA karena menjanjikan perjalanan yang lebih cepat.
Namun, KA hanya bisa ditemui di stasiun, yang lokasinya tak bisa diutak-atik lagi. Ia juga hanya berjalan saat jadwal menyuruhnya begitu. Maka tak ada pilihan lain bagi para peminat KA untuk harus mendatangi stasiun pada waktu yang ditentukan. Disiplin tempat dan waktu pun mulai dibangun. â€ÂKalau enggak disiplin, ya kita sendiri yang rugi, ketinggalan kereta,†ungkap Ichwan Mustofa, juru bicara Paguyuban Prameks.
Itu baru satu hal. Pelajaran lain yang diberikan Prameks adalah makna pertemuan antarmanusia. I Wayan Sadra, seniman musik dan dosen ISI Surakarta yang sedang menyelesaikan program S-3 di ISI Yogyakarta, mengatakan, di dalam KA Prameks bisa ditemui hampir semua kalangan masyarakat. â€ÂIbaratnya dari yang paling kaya sampai yang paling miskin bertemu di dalam kereta itu. Meski ini kereta murah, tetapi interaksi di dalamnya sangat kaya,†tutur Sadra, yang selalu mengandalkan Prameks untuk bolak-balik Solo-Yogya ini.
Saat semua anggota masyarakat dari berbagai latar belakang kehidupan bertemu di suatu ruang, makaâ€â€seperti pernah ditengarai oleh wartawan dan pengajar filsafat Budiarto Danujayaâ€â€ruang tersebut menjadi tempat untuk saling berbagi nilai-nilai kehidupan universal di tengah kota yang makin memicu sikap individual. Itulah yang terjadi di dalam Prameks dengan paguyuban penumpangnya.
Menurut Ketua Paguyuban Prameks Kuntoro Wardoyo, pertemuan dan kekompakan para penumpang Prameks di atas KA tersebut membuat mereka secara otomatis menjalankan berbagai aturan tak tertulis, seperti tidak merokok di atas kereta atau memberikan tempat duduk kepada orang yang lebih membutuhkan. â€ÂSemuanya berawal dari kesadaran sendiri dan rasa melu handarbeni, ikut memiliki Prameks ini. Toh kalau kereta ini nyaman, kan kami sendiri yang untung,†tutur Kuntoro.
Saat Kompas menjajal naik Prameks hari Kamis (21/1) siang, memang tak terlihat orang merokok di dalam gerbong Prameks, yang tak ber-AC. Tanpa peraturan daerah yang mengancam perokok dengan hukuman penjara atau rambu-rambu larangan yang mencolok, penumpang sudah dengan sendirinya sadar bahwa merokok di ruang publik, dan ada anak-anak atau ibu hamil, adalah tidak pantas.
Interaksi beradab
Para anggota paguyuban pun sudah menjalin hubungan baik dengan kondektur atau satuan pengaman kereta, sehingga apabila ada penumpang yang menunjukkan gelagat mau berbuat jahat, mereka langsung mengirim SMS.
â€ÂKalau sampai ketahuan ada penumpang yang tidak beli tiket, atau membayar kondektur di atas kereta, kami akan meng-SMS Manajer Operasi (PT Kereta Api) Daop VI biar besoknya langsung ditindak. Dengan cara seperti ini, akhirnya kami saling mengawasi dan menjaga,†ungkap Eko Maharjanto, Bendahara Paguyuban Prameks.
Sadra melihat semua itu sebagai sebuah interaksi antarmanusia untuk saling mengasah peradaban yang lebih tinggi. â€ÂSaya pernah melihat ada seorang ibu-ibu yang menggendong anak, dan tanpa pikir panjang, orang yang masih muda langsung mempersilakan dia duduk,†tutur penggagas Sono-Seni Ensemble ini.
Pengamat kebudayaan urban dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Bambang Kusumo Prihandono, melihat keberadaan KA Prameks makin melebur jarak antara Yogyakarta dan Solo.
Para penglaju, baik dari Yogya ke Solo maupun sebaliknya, menurut Bambang, menjadi pengamat kota, atau flâneur dalam istilah Walter Benjamin. â€ÂMereka memiliki pengalaman-pengalaman yang berbeda dibanding orang yang menetap di satu tempat saja. Mereka menjadi pengamat terhadap segala sesuatu dan berbagai perubahan yang terjadi di sekelilingnya,†ujarnya.
Dalam konteks hubungan Yogyakarta dan Solo, hal ini menjadi menarik karena kemudian meleburkan semacam â€Âperang dingin†dan kontestasi identitas yang terjadi sejak dulu antara dua kota itu. â€ÂYogya dan Solo sudah tidak lagi menjadi persoalan wilayah. Orang tidak lagi memandang Solo dan Yogya sebagai identitas kota yang berbeda. Kontestasi (identitas) itu menjadi tidak relevan lagi,†kata Bambang.
Sebagai gantinya, lanjut Bambang, identitas-identitas lokal itu berubah menjadi identitas tunggal, yakni identitas urban. Dan semua itu dipercepat dengan adanya perkembangan teknologi, termasuk teknologi transportasi, seperti dibuktikan oleh Prameks.
SEJARAH
Sempat Mau Ditutup
Minggu, 24 Januari 2010 | 02:29 WIB
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Setiap akhir pekan, kereta Prambanan Ekspres (Prameks) dijejali penumpang reguler maupun wisatawan, sebagaimana yang ditemui di Stasiun Besar Tugu Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
Lukas adi Prasetya
Pertama kali diluncurkan pada tahun 1994, rangkaian Kereta Api Prambanan Ekspres atau Prameks tidak langsung sukses seperti sekarang. Bahkan pihak PT Kereta Api Daerah Operasi VI Yogyakarta sempat mau menutup operasional KA tersebut.
Saat itu, para penglaju yang menempuh jalur Solo-Yogyakarta atau sebaliknya masih fanatik menggunakan bus sebagai transportasi antarkota jarak dekat. KA dianggap sebagai kendaraan umum khusus rute jauh, misalnya ke Jakarta.
Kini, Prameks menjadi kereta rakyat. Data PT KA Daop VI menunjukkan, sepanjang tahun 2009, Prameks total mengangkut 2.697.564 penumpang, melebihi kapasitas akumulatif 2.108.288 tempat duduk.
Dengan tiket jurusan Yogyakarta-Solo yang dibanderol hanya Rp 8.000 per kepala, tahun lalu Prameks menyumbangkan pendapatan kotor sekitar Rp 21,58 miliar kepada PT KA. Tanpa merinci berapa keuntungan bersih dari operasional Prameks ini, Kepala Humas PT KA Daop VI Eko Budiyanto mengatakan, secara rupiah, Prameks sebenarnya tidak terlalu menguntungkan.
â€ÂLebih menguntungkan ’jualan’ KA bisnis dan eksekutif yang menempuh rute jauh. Dengan harga tiket murah, Prameks tak bisa mendulang banyak keuntungan karena biaya perawatan KA sangat banyak. Tapi secara strategi, Prameks tepat. Peminat selalu ada, bahkan terus bertambah,†tutur Eko di Yogyakarta, Selasa (19/1).
Diperpanjang
Prameks diluncurkan pertama kali pada 20 Mei 1994. Nama Prameks dipilih setelah pernah diusulkan nama lain, yaitu Joglo (Jogja-Solo) Ekspres. Di awal operasinya, Prameks memakai rangkaian KA Senja Utama Solo yang sedang istirahat.
Rute yang dilayani baru Yogya-Solo pergi-pulang tiga kali sehari. Seiring dengan meningkatnya permintaan, frekuensi perjalanan ditambah. Pada Maret 2000, perjalanan diperpanjang dari Stasiun Solo Balapan ke Stasiun Solo Jebres, lalu diperpanjang lagi sampai Stasiun Palur di timur Solo.
Setelah jalur rel ganda KA Yogya-Kutoarjo selesai dibangun, September 2007, PT KA Daop VI melakukan uji coba Prameks rute Yogya-Kutoarjo sejauh 83 kilometer. Di akhir pekan, penumpang Prameks makin penuh karena ditambahi warga Solo dan Kutoarjo yang ingin jalan-jalan ke Yogyakarta.
Saat ini, sebanyak 22 perjalanan KA Prameks per hari dilayani tiga set kereta rel diesel elektrik (KRDE) dan tiga kereta rel diesel (KRD). KRDE yang dipakai adalah kereta rel listrik (KRL) Holec buatan Belanda yang direnovasi dan dimodifikasi oleh PT INKA tahun 1980. Tenaga listrik KRDE ini dihasilkan mesin diesel merek Cummins.
Diesel dianggap lebih murah dan praktis ketimbang tenaga listrik yang peranti pendukungnya mesti dibangun di sepanjang rute. Sementara untuk jenis KRD yang dipakai adalah buatan Jepang tahun 1970-an, meski mesinnya tetap memakai Cummins. KRD ini hibah dari Pemerintah Jepang.
Rangkaian KA yang digunakan Prameks memang sudah tua. Banyak cerita tentang kerusakan KA menimpa Prameks. Sebulan ini, misalnya, karena KRD rusak, perjalanan Prameks terpaksa meminjam KA Senja Utama dan Fajar Utama secara bergantian. Tak heran KRD dan KRDE bekas ini sering rusak karena total jarak tempuh per hari untuk bolak-balik Solo-Yogya bisa mencapai 600 kilometer, atau sama seperti jarak Yogya-Jakarta.
Di Prameks, Kita Kan Berjumpa...
Minggu, 24 Januari 2010 | 02:28 WIB
WAWAN H PRABOWO
Kereta api Prambanan Ekspres (Prameks) melintas di atas Jembatan Kewek Yogyakarta, Senin (18/1).
DAHONO FITRIANTO
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.30 lebih sedikit saat rangkaian KA Prambanan Ekspres memasuki Stasiun Tugu Yogyakarta, Senin (18/1). Barisan panjang penumpang sudah menunggu di peron stasiun. Mereka adalah orang-orang senasib dalam gerbong kehidupan.
Mereka langsung berdesak-desakan masuk ke gerbong begitu kereta berhenti. Tempat duduk yang tersedia pun terisi dengan cepat. Beberapa menit kemudian, kereta bergerak perlahan ke arah timur. Para penumpang yang tidak kebagian tempat duduk pasrah berdiri bersandar di dinding gerbong atau di sandaran kursi penumpang lain.
Namun, ada sebagian penumpang yang rupanya sudah bersiap tidak kebagian tempat duduk. Mereka mengeluarkan kursi lipat kecil dari tas mereka, lalu membukanya di gang, di antara dua baris tempat duduk, dan duduk santai di situ. â€ÂBegini lebih santai, mas. Tidak ada kewajiban untuk memberikan tempat duduk ke orang lain. Kan, bawa kursi sendiri, he-he-he,†tutur Ichwan Mustofa (35), salah seorang penumpang â€Âberdikari†itu.
Ichwan adalah satu di antara ratusanâ€â€atau bahkan ribuanâ€â€penglaju yang setiap hari menggunakan jasa KA Prameks untuk pergi-pulang ke tempat kerja. Dia berdomisili di daerah Baluwarti, di kompleks keraton Surakarta, Solo, Jawa Tengah, dan berkantor di salah satu bank swasta di Jalan Gejayan, Yogyakarta.
Praktis
Kuntoro Wardoyo (44), warga Gemblegan, Kota Solo, sudah empat tahun ini menggunakan jasa Prameks untuk mengantarnya ke kantor di Jalan Jenderal Soedirman, Yogyakarta. â€ÂSaya sudah sembilan tahun nglaju Solo-Jogja. Dulunya naik bus, tetapi lama-lama tidak enak, jadi pindah naik Prameks,†tutur karyawan bank ini. Kecepatan memang menjadi alasan utama para penglaju ini memilih jasa Prameks. Jarak Solo-Yogyakarta yang sekitar 65 kilometer itu bisa ditempuh dalam waktu 45-50 menit dengan Prameks.
Sementara Kompas, yang pada hari Rabu (20/1) mencoba menggunakan mobil pribadi melalui jalan raya, membutuhkan waktu hampir dua jam untuk perjalanan dari pusat kota Solo hingga pusat kota Yogyakarta. Jalan yang padat, banyak persimpangan lampu lalu lintas, dan truk-truk besar yang berjalan pelan membuat perjalanan menjadi tersendat.
Kira-kira waktu tempuh yang sama harus dijalani jika para penglaju ini memilih menggunakan bus. â€ÂSudah gitu, di bus banyak pengamen yang bikin risi. Sepanjang Yogya-Solo, bisa enam pengamen yang naik ke bus. Kadang ada copet juga,†ungkap Yunita (28), penglaju Solo-Yogya lainnya.
Naik bus juga tidak praktis karena bus-bus antarkota tidak diizinkan masuk hingga ke jalan-jalan di pusat kota. Sementara dengan Prameks, penumpang bisa turun di stasiun-stasiun di pusat kota. â€ÂSetiap pulang kantor, saya cukup jalan kaki sekitar 15 menit sudah sampai Stasiun Lempuyangan. Murah, praktis, dan sehat,†tutur Eko Maharjanto (40), warga Kratonan, Solo, yang berkantor di daerah Kotabaru, Yogyakarta.
Bagi yang rumah atau kantornya masih agak jauh dari stasiun, mereka menyiasati dengan menggunakan sepeda motor lalu diparkir di stasiun. â€ÂSaya punya dua sepeda motor, satu ditaruh di Stasiun Balapan untuk transportasi ke rumah, satu di Stasiun Lempuyangan buat ke kantor,†ungkap Ichwan.
Arisan dan asmara
Berbagai kepraktisan, yang sudah menjadi tuntutan gaya hidup urban, itulah yang membuat peminat Prameks makin bertambah dari hari ke hari. Mereka rela berdiri berdesak-desakan asal cepat dan selamat sampai ke tujuan.
Lama-lama hubungan antarpenglaju ini makin akrab dan guyub. â€ÂLha, wong, tiap hari ketemu, ya lama-lama kenalan, ngobrol, terus jadi akrab,†kata Emilia (25), karyawati sebuah konsultan pendidikan di Yogya.
Bahkan, pertemuan rutin di atas kereta api ini pun pernah berbuah cinta. â€ÂMereka dulu teman sekantor dan sama-sama penglaju dari Solo, jadi setiap hari berangkat dan pulang kantor naik Prameks bareng terus. Mereka akhirnya pacaran dan menikah. Foto prewedding-nya saja pakai latar belakang Prameks,†tutur Eko.
Seiring dengan makin akrabnya para penglaju di atas Prameks ini, mereka bahkan sampai membuat Paguyuban Prameks. â€ÂPenggagasnya dulu namanya Pak Murdiyanto, yang sudah 20 tahun nglaju Solo-Yogya naik kereta sejak zamannya (KA) Kuda Putih tahun 1970-an,†ujar Kuntoro, yang menjadi Ketua Paguyuban Prameks saat ini.
Salah satu acara rutin paguyuban ini adalah menggelar arisan di atas kereta, seperti terlihat hari Selasa (19/1) sore. â€ÂAnggota paguyuban saat ini ada 200-an orang, tetapi yang ikut arisan cuma sekitar 70 orang. Arisannya Rp 10.000-an, wong cuma buat rame-rame,†imbuh Kuntoro.
Di tengah obrolan hangat ini, perjalanan pun menjadi tak terasa. Tahu-tahu, kereta sudah berjalan melambat, memasuki Stasiun Purwosari di tengah Kota Solo. Ichwan pun melipat kursi kanvasnya lagi dan bersiap-siap untuk turun. Sebelum beranjak, ia menoleh kepada Yunita dan berkata,
â€ÂSesuk mangkat jam piro?†(Besok berangkat jam berapa?)
â€ÂBiasa wae, jam setengah enem.†(Biasa aja, jam 05.30)
â€ÂYo wis, ketemu nang stasiun yo!†(Ya sudah, ketemu di stasiun ya!â€Â
Esok hari, kita kan berjumpa lagi di Prameks....
Sumber: cetak.kompas.com
Edisi Minggu 24 Januari 2010
Habitus Pramekers
Sumber: cetak.kompas.com
Sabtu, 27 Desember 2008 | 11:58 WIB
Oleh ANHAR WIDODO
Saat mulai menjalani hari-hari sebagai pramekerspenumpang setia Kereta Api Prameksdari Solo ke Yogyakarta, dan sebaliknya, saya tidak menemukan hal yang menarik selain bahwa hal itu adalah rutinitas dari para komuter. Mereka yang tinggal dan hidup di satu kota (Solo), tetapi dengan aktivitas harian (bekerja/belajar) di Yogyakarta, demikian sebaliknya. Lambat laun, saya mencermati dan menemukan sejumlah perubahan baru dalam rutinitas sebagai pramekers. Asumsinya, hidup dalam irama dan aturan Kereta Api Prambanan Ekspress adalah sebuah kompleksitas sosial yang menarik untuk dicermati. Saya teringat dengan konsep habitus dari Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis. Mengutip Haryatmoko (Basis, Nomor 11-12, Tahun Ke-52/2003), Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai pengondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas.
Hasil suatu habitus: sistem- sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur- struktur yang dibentuk, yang dimaksudkan untuk berfungsi sebagai struktur-struktur yang membentuk. Artinya, menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktik-praktik hidup dan representasi-representasi, yang dapat disesuaikan dengan tujuan-tujuan tanpa mengandaikan pengarahan tujuan secara sadar dan penguasaan secara sengaja upaya-upaya yang perlu untuk mencapainya, secara obyektif diatur dan teratur tanpa harus menjadi buah dari kepatuhan akan aturan-aturan dan secara kolektif diselaraskan tanpa harus menjadi hasil dari pengaturan seorang dirigen. Gagasan ini tentunya tidak akan menempatkan konsep habitus Bourdieu secara tepat, mendalam, dan luas pada upaya melihat fenomena pramekers. Bukankah saat kita menjadi pelanggan setia KA Prambanan Ekspress (Prameks) dan dicap sebagai pramekers, kita telah masuk dalam kelas tertentu dengan seperangkat syarat dan aturan yang telah dikondisikan sebelumnya. KA Prameks diberangkatkan pada jam-jam tertentu yang telah ditetapkan waktunya dan berlaku untuk jangka waktu yang cukup lama. Artinya, rutinitas irama terbentuk karena kepastian jadwal sebagai salah satu struktur pembentuk. Dengan alasan keteraturan (waktu datang, berangkat, dan sampai di tujuan) dan kepastian (jadwal, harga tiket yang terjangkau, dan kenyamanan-layanan) dibandingkan dengan moda transportasi lain yang melayani rute Solo-Yogya dan sebaliknya, KA Prameks telah membangun sebuah komuter yang disebut dengan pramekers. Kebiasaan Menjadi sangat menarik mengaitkan konsep habitus-nya Bourdieu dengan habit (kebiasaan) pramekers. Mulai dari soal cara mencatat dan menghafalkan jadwal, mengantre tiket, sampai mencari tempat duduk paling pas di stasiun.
Soal di pintu bagian mana (depan, tengah, atau belakang) mereka akan naik ke atas kereta, sampai aktivitas yang akan dilakukan baik saat perjalanan berangkat ke tujuan maupun kembali ke asal. Dengan memerhatikan lebih seksama mereka yang memilih menjadi pramekers, kita dapat melihat masyarakat seperti apa yang melingkupi dan hidup di sekitar kita. Pramekers pekerja biasanya adalah mereka yang menggunakan kereta yang berangkat paling awal dan kembali lebih terakhir. Tiket mereka adalah tiket terusan (langganan) yang berlaku untuk jangka waktu tertentu (bulanan), dengan demikian mereka hemat beberapa ribu rupiah karena mendapatkan diskon/potongan harga. Sesaat setelah kereta berjalan, mereka mengaktifkan music player, memasang headphone, dan mulai memejamkan matamemanfaatkan waktu satu jam perjalanan untuk menyambung tidur pagi yang terputus karena harus mengejar kereta. Pramekers pelajar/mahasiswa, biasanya mereka menggunakan kereta yang tidak terlalu pagi dan kembali lebih awal dari para pekerja.
Ada sebagian dari mereka yang menggunakan tiket terusan (langganan), tetapi banyak yang lain menggunakan tiket sekali jalan. Pramekers pelajar/mahasiswa menggunakan waktu dalam perjalanan mereka untuk melakukan komunikasi dengan telepon seluler (bertelepon atau ber- SMS), atau membaca buku, majalah, koran, atau artikel tertentu dari tugas kuliah. Adanya fasilitas penjualan koran dengan harga lebih murah di atas Prameks, juga membangun komunitas pembaca yang luar biasa. Tak jarang, pramekers membeli lebih dari satu eksemplar korankatanya pesanan teman-teman mereka di tempat bekerja. Pada jam-jam tertentu, pramekers tidak mendapatkan tempat duduk karena meskipun masuk kategori kelas bisnis, Prameks tidak melakukan pembatasan jumlah penumpangmaka otomatis ada orang-orang yang berinisiatif membagikan koran bekas kepada mereka yang berdiri, untuk kemudian digelar menjadi alas tempat duduk di lantai di antara kursi yang saling berhadapan. Jadwal pasti Sekali waktu, Prameks datang terlambat atau dengan jumlah gerbong yang tidak sebanding dengan penumpang yang harus diangkut. Akibatnya, mereka yang punya jadwal pasti menjadi terlambat atau mereka yang seharusnya bisa duduk menjadi harus lesehanini dapat menimbulkan gejolak yang bagi PT Kereta Api seminimal mungkin harus dihindari dan diantisipasi.
Bahkan, sampai ada pramekers yang menulis sejumlah keluhan dan harapan kepada Prameks agar semakin meningkatkan kualitas jasa pelayanannya. Ternyata bukan hanya soal yang berkaitan langsung dengan kereta api yang berubah saat seorang menjadi pramekers. Lebih dari itu, jadwal dan irama hidup di rumah maupun dinamika kegiatan mereka di tempat kerja atau tempat belajar menjadi sangat berkaitan langsung dengan jadwal kedatangan, keberangkatan, dan sampainya KA Prameks di tempat tujuan. Upaya-upaya pencapaian tujuan dan kolektivitas tanpa harus terikat komando (dirigen) sebagai salah satu hasil habitus sebagaimana dimaksud Bourdieu di awal tulisan ini, sangat nyata muncul dalam diri pramekers, para penumpang setia KA Prameks. Satu hal yang belum muncul dari kolektivitas tersebut adalah upaya membangun relasi/komunikasi aktif sehingga pramekers sebagai sebuah kelas tertentu dapat memberikan kontribusi positif sebagai sumber penggerak tindakan, pemikiran, dan representasi pada lingkungan sosial budaya di mana mereka berada. ANHAR WIDODO Pramekers, Dosen ISI Solo Mahasiswa Pascasarjana Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
.